markesot bertutur

 PENDAHULUAN Masa remaja menjadi masa peralihan antara masa anak-anak menuju masa dewasa (Bjorklund & Blasi, 2011; Dolgin & Rice, 2011; Papalia et al., 2003). Pada masa ini anak mengalami berbagai perkembangan baik fisik, emosi, sosial, dan kognitifnya. Dalam tugas perkembangannya, remaja akan melewati beberapa fase dengan berbagai tingkat kesulitan permasalahan dan konflik. Pada masa ini, individu juga berada pada kondisi psikis yang sangat labil, karena masa ini merupakan fase pencarian jati diri (Hurlock, 2001; McCallum, 2012; Meeus, 2011; Wiley & Berman, 2013). Remaja akan mencari tahu siapa dirinya dan bagaimana mereka harus berperan di lingkungannya. Namun demikian, remaja usia sekolah memiliki berbagai masalah, utamanya berkaitan dengan emosi. Salah satu masalah terkait dengan emosi siswa adalah perilaku agresi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Yogyakarta yang melakukan perilaku agresi kategori sangat tinggi sebesar 4%, kategori tinggi sebesar 26%, kategori sedang sebesar 40%, kategori rendah sebesar 21%, dan kategori sangat rendah sebesar 8% (Saputra & Handaka, 2018). Pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diketahui 1% siswa memiliki agresivitas yang sangat tinggi, 13% kategori tinggi, 37% kategori sedang, 43% kategori rendah, dan 6% kategori sangat rendah (Alhadi et al., 2018). Penelitian lain menunjukkan 72% siswa melakukan serangan fisik kepada ibu mereka dan 38% menyerang atau mengancam ayah mereka (Routt & Anderson, 2011). Lebih jauh, pola agresivitas remaja laki-laki dan perempuan di SMK Kota Yogyakarta juga cenderung sama (Saputra et al., 2017). Salah satu bentuk perilaku agresi yang sedang hangat dibicarakan di Yogyakarta adalah fenomena klithih (Febriani, 2018). Fenomena klithih telah menjadi kegaduhan sosial di Yogyakarta karena menyebabkan banyaknya korban jiwa (Sarwono, 2017). Fenomena ini menjadi permasalahan bagi remaja usia sekolah karena mereka melakukan bentuk kekerasan fisik kepada remaja lain dengan menggunakan celurit, gir, palu, dan sebagainya. Kekerasan tersebut biasanya dilakukan dengan mengendarai sepeda motor. Korban yang dikenai juga acak dan pelaku tidak memiliki alasan khusus ketika melukai korban. Pelaku klithih ini menggunakan berbagai strategi agar perilakunya tidak mudah diketahui oleh orang lain, termasuk polisi, antara lain: (1) bertindak pada malam hari; (2) menemukan tempat yang tenang; (3) menggunakan aksesori; (4) melepas pelat nomor pada sepeda motor untuk menghindari penangkapan CCTV; (5) menghafal medan; dan (6) membangun solidaritas geng (Sarmini et al., 2018). Bentuk-bentuk perilaku agresi yang dilakukan oleh remaja usia sekolah tersebut dapat berdampak negatif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Salah satu dampaknya adalah mendorong munculnya persepsi pada diri siswa tentang tidak kondusifnya iklim sekolah tempat mereka belajar (Klein et al., 2012; Nickerson et al., 2014; Steffgen et al., 2013). Persepsi buruk siswa terhadap iklim sekolah berpengaruh signifikan terhadap keterlibatan siswa dalam belajar (Cornell et al., 2016; Einarsen et al., 2018; Mehta et al., 2013) dan performa akademik siswa di kelas (Benbenishty et al., 2016; Makewa et al., 2011). Dampak lain yang terlihat dari munculnya persepsi buruk tentang iklim sekolah sebagai akibat dari perilaku agresi adalah menurunnya prestasi akademik siswa di sekolah (Benbenishty et al., 2016; Makewa et al., 2011; Milam et al., 2010; Wang et al., 2014). Salah satu upaya yang dapat dilakukan konselor sekolah adalah mengembangkan layanan bimbingan dan konseling guna mengembangkan pikiran damai siswa. Hal ini dilakukan agar tercipta pikiran damai siswa dan siswa mampu meminimalisir perilaku agresinya. Kedamaian berada dalam pikiran setiap manusia yang perlu dikembangkan oleh setiap manusia (Anand, 2014). Pikiran damai ditandai dengan kondisi perasaan yang tenang dari dalam diri dan harmoni (Lee et al., 2013). Pikiran damai dapat mendorong siswa untuk menjalani kehidupan sesuai dengan keinginan dan pilihannya sendiri dan juga dinilai oleh diri sendiri, sehingga kehidupan siswa dapat tumbuh lebih baik dan konstruktif (Hill, 2007). Pikiran damai yang tertanam pada remaja akan menjadi unsur yang dapat mencegah remaja melakukan perilaku agresi. Terdapat beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa pikiran damai dapat mencegah remaja berperilaku agresi. Penelitian yang dilakukan di Turki menyimpulkan bahwa pendidikan kedamaian yang fokusnya pada pembangunan pikiran damai siswa dapat secara efektif meningkatkan empati siswa (Sagkal et al., 2012). Empati inilah yang mendorong siswa untuk tidak menunjukkan perilaku agresi (Eisenberg et al., 2010; Van der Graaff et al., 2012). Perilaku agresi dan kekerasan di sekolah perlu untuk diatasi, salah satunya dengan cara membangun pikiran damai siswa (Greene, 2005).

Komentar

Postingan populer dari blog ini